Rabu, 28 Maret 2012

IMPLEMENTASI KOMUNIKASI TERAPIUTIK DOKTER PADA PASIEN PASKA STROKE KRONIK DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DAYA MAKASSAR


MUHAMMAD AKRAF 


BAB I
PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang Masalah
Sejak awal sejarah yang tercatat mengenai ummat manusia, sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dua insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin disembuhkan. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut transaksi terapiutik atau kontrak terapiutik antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat spesifik yang dilakukan dengan berlandaskan rasa hormat menghormati dan percaya-mempercayai (konfidensial), serta senangtiasa diliputi oleh segala emosi harapan, dan kekhawatiran mahkluk insani.
Dokter adalah pihak yang mempunyai keahlian di bidang kedokteran, sedangkan pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Pada kedudukan ini dokter adalah orang sehat yang juga pakar dalam bidang penyakit sementara pasien adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya. Dalam melakukan interaksi maka dibutuhkan komunikasi antara dokter dan pasien.
Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam hubungan antar manusia. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi  menjadi tidak efektif karena kesalahan dalam menafsirkan pesan yang diterimanya. Jika kesalahan penerimaaan pesan terus-menerus berlanjut dapat berakibat pada ketidakpuasan baik dari pasien maupun tenaga kesehatan itu sendiri.
Komunikasi efektif dokter dan pasien biasa juga disebut sebagai komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien (Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah proses yang digunakan dengan memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada pasien.
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara dokter dengan pasien. Persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan antara dokter dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara dokter dan pasien,  dokter  membantu dan pasien menerima bantuan.
Penelitian ini dilatar belakangi karena sulitnya terjalin komunikasi terapiutik antara dokter dan pasien secara umum dan pasien paska stroke pada khususnya yang mana dengan munculnya sorotan terhadap dokter yang merupakan lini terdepan dalam konsep pertolongan pertama dan adanya anggapan dari pasien dan keluarga pasien bahwa dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi sehingga pasien bersikap pasif saat berinteraksi dengan dokter. Disamping itu karena seorang dokter memiliki waktu yang pendek karena kesibukan sehingga sangat terbatas waktu yang digunakan dalam berinterksi dengan pasiennya.
Peneliti juga tertarik meneliti mengenai pasien paska stroke kronik  tanpa gangguan bicara dengan alasan bahwa pasien paska stroke banyak di rumah sakit juga karena pasien paska stroke biasanya dirawat agak lama sehingga peneliti memiliki waktu yang cukup untuk melakukan penelitian serta belum adanya penelitian yang mengkhususkan pada pasien paska stroke.
Beberapa penelitian sudah mengangkat tentang komunikasi terapiutik pada pasien diantaranya yang dilakukan oleh Yanti Setianti  dari Universitas Pajajaran Fakultas Ilmu Komunikasi Jatinagor pada tahun 2007 dengan judul “Komunikasi Terapiutik Antara Perawat dan Pasien”. Namun penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan terutama pada objek penelitian bukan pada perawat tapi pada dokter yang bertugas di rumah sakit serta dilakukan terkhusus pada pasien paska stroke atau bukan pada pasien pada  umumnya.
Adapun masalah yang akan diteliti adalah pemberiaan komunikasi terapiutik dokter pada pasien  paska stroke kronik baik yang non-hemoragi maupun yang hemoragi.
2.   Fokus Masalah
       Komunikasi yang baik dengan pasien adalah kunci keberhasilan untuk masalah klinis, hubungan dokter dan pasien yang lebih baik, dan keluaran perawatan kesehatan. Keberhasilan komunikasi memerlukan pendekatan efektif kepada pasien, kemampuan untuk mendengarkan dan mempersilahkan pasien untuk bercerita, serta cakap dalam melakukan investigasi untuk
        Walaupun pelayanan kesehatan secara medis pada pasien  telah cukup baik tetapi mereka tetap memerlukan komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam penanganan persoalan kesehatan mereka. 
       Komunikasi yang baik dalam konteks hubungan dokter dan pasien haruslah efektif, komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan pasien. Komunikasi yang efektif ini dapat mengikutsertakan partisipasi aktif pasien dalam pengambilan keputusan, juga kepuasan pada pasien. Bentuk-bentuk komunikasi seperti itu seakan membangun hubungan yang berkelanjutan antara dokter dan pasien dan terlihat penting dalam penurunan hospitalisasi pada pasien.
       Komunikasi yang baik dengan pasien adalah kunci keberhasilan untuk masalah klinis, hubungan dokter dan  pasien yang lebih baik, dan keluaran perawatan kesehatan. Keberhasilan komunikasi memerlukan pendekatan efektif  kepada pasien, kemampuan untuk mendengarkan dan mempersilahkan pasien untuk bercerita.
       Dengan demikian peneliti melihat penomena ini sebagai sesuatu yang selalu berulang baik di rumah sakit daerah maupun rumah sakit pemerintah hal tersebut  menimbulkan suatu tanda tanya yang besar mengapa komunikasi terapiutik sulit dilakukan antara dokter dan pasien?, sehingga hal ini akan berdampak buruk terhadap hubungan dokter dan pasien. Apakah selama ini tidak ada evaluasi mengenai hubungan terapiutik dokter dan pasien?, serta apakah hak dan kewajiban dokter dan pasien tidak terpenuhi secara baik di rumah sakit?. Banyak hal yang menjadi pertanyaan peneliti sehingga  tertarik untuk mengangkat topik ini sebagai penelitian.
3.   Tujuan Penelitian
a.    Mengetahui bagaimana implementasi komunikasi terapiutik dokter pada pasien paska stoke kronik di RSUD. Daya Makassar.
b.    Mengetahui persepsi pasien paska stroke kronik tentang komunikasi terapiutik dokter.
c.    Mengetahui persepsi dokter terhadap  komunikasi terapiutik pada pasien paska stroke kronik.
d.   Mengetahui implementasi komunikasi terapiutik dokter pada pasien paska stroke kronik.
3.    Manfaat Penelitian
a.       Manfaat Teori
1)        Sebagai  bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
2)        Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti lain dalam hal hubungan terapiutik dokter dan pasien paska stroke kronik.
b.      Manfaat Metodologi
Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang akan menggunakan paradigma kualitatif dalam melakukan penelitian.
c.         Manfaat Praktis
1)   Sebagai bahan masukan bagi para dokter dan pasien secara umum dan pasien paska stroke khususnya tentang komunikasi terapiutik.
2)   Sebagai sumber informasi bagi dokter dan pasien tentang komunikasi terapiutik.
3)   Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan hubungan antara dokter dan pasien khususnya tentang komunikasi terapiutik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.  Tinjauan Teori
1.         Komunikasi Terapeutik Dokter
a.     Definisi
       Komunikasi dalam bidang kedokteran merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara dokter dan pasien untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
   Oleh karena itu komunikasi terapeutik memegang peranan penting memecahkan masalah yang dihadapi pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi proposional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien pada komunikasi terapeutik terdapat dua komonen penting yaitu proses komunikasinya dan efek komunikasinya.
    Komunikasi terapeuitk termasuk komunikasi untuk personal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar dokter dengan pasien. Menurut Purwanto komunikasi terapeutik merupakan bentuk keterampilan dasar untuk melakukan wawancara dan penyuluhan dalam artian wawancara digunakan pada saat dokter melakukan pengkajian member penyuluhan kesehatan dan perencaan pengobatan.
Northouse (Suryani, 2006: 12) mengemukakan bahwa komunikasi terapiutik adalah ‘kemampuan atau keterampilan    dokter untuk membantu pasien untuk beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana berhubungan denga orang lain.’
Stuart. G. W (Suryani, 2006: 16) mengemukakan bahwa komunikasi terapiutik ‘merupakan hubungan interpersonal antara dokter dan   pasien, dalam hubungan ini dokter dan pasien memperoleh pengalaman belajar sesama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional pasien.’
Sedangkan Hibdon, S (2000) menyatakan bahwa pendekatan konseling yang memungkinkan pasien menemukan siapa dirinya merupakan fokus dari komunikasi terapiutik.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa komunikasi terapiutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi.
b.     Tujuan komunikasi terapiutik
Tujuan komunikasi terapiutik adalah untuk mengembangkan pribadi pasien kea rah yang lebih positif atau adaftif dan diarahkan pada pertumbuhan pasien yang meliputi :
1)   Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan diri. Melalui komunikasi terapiutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri pasien. Pasien yang tadinya tidak bisa menerima diri apa adanya atau merasa rendah diri, setelah berkomunikasi terapiutik dengan dokter akan mampu menerima dirinya. Seorang pasien yang mengalami kelumpuhan atau kelemahan separuh tubuhnya (hemiplegia atau hemipharese) biasanya akan mengalami gangguan gambaran diri, gangguan harga diri, merasa tidak berarti dan tidak berharga pada pasangannyasehingga mungkin akan membenci dirinya dan pada akhirnya merasa putus asa dan depressi. Dengan melakukan komunikasi terapiutik pada pasien tersebut, diharapkan seorang dokter dapat mengubah cara pandang pasien tentang penyakitnya, dirinya dan masa depannya sehingga pasien dapat menghargai dan menerima diri apa adanya.
2)   Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superficial dan saling bergantung dengan orang lain. Melalui komunikasi terapiutik, pasien akan belajar bagaimana menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima pasien apa adanya, dokter akan dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam membina hubungan saling percaya.  Roger, (1974) dan Abraham, (1997) dalam Suryani, (2006: 13) mengemukakan bahwa ‘hubungan mendalam yang digunakan dalam proses interaksi antara perawat dan pasien merupakan area untuk mengekresikan kebutuhan, memecahkan masalah dan meningkatkan kemampuan koping.’
3)   Meningkatkan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis. Terkadang pasien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu tinggi tanpa mengukur kemampuannya. Misalnya seorang pasien dengan kelumpuhan separuh tubuh akibat paska stroke  mengatakan bahwa setelah pulang dia ingin menjadi atlit lari. Hal ini tidak mungkin tercapai dan akan berdampak pada harga diri pasien. Individu yang merasa kenyataan dirinya mendekati ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi sedangkan individu yang merasa kenyataan hidupnya jauh dari ideal dirinya akan merasa rendah diri. Dalam kasus seperti ini peran seorang dokter adalah   membimbing pasien dalam membuat tujuan yang realistis dan meningkatkan kemampuan pasien memenuhi kebutuhan dirinya.
4)   Rasa idealitas personal yang jelas dan meningkatkan integritas diri. Identitas personal disini termasuk status, peran dan jenis kelamin. Pasien yang mengalami gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri dan mengalami harga diri yang rendah. Melalui komunikasi terapiutik diharapkan dokter dapat membantu pasien meningkatkan integritas dirinya dan identitas yang jelas. Dalam hal ini dokter berusaha menggali semua aspek kehidupan pasien dimasa sekarang dan masa lalu. Kemudian dokter membantu meningkatkan integritas diri pasien melalui komunikasi dengan pasien.
Menurut Purwanto tujuan dari komunikasi terapeutik :
a)        Membantu pasien memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran mempertahakan kekuatan egonya.
b)         Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk mengubah situasi yang ada.
c)         Mengulang keraguan membantu dalam pengambilan tindakan yang efektif dan mempengaruhi orang lai lingkungan fisik dan dirinya.
Dalam mencapai tujuan ini sering sekali dokter  memenuhi kendala komunikasi yaitu:
a)         Tingkah laku dokter
Dirumah sakit pemerintah maupun swasta, dokter memegang peranan penting; tingkah laku; gerak-gerik dokter selalu dinilai oleh masyarakat. Bahkan sering juga surat kabar memuat berita-berita tentang dokter rumah sakit. Bertindak yang tidak sebenarnya. Dipandang oleh pasien dokter kurang memperhatikan atau bahkan melakukan tindakan yang tergesah-gesah dan sebagainya.
b)        Dokter  yang berorientasi rumah sakit
 Pelaksanaan dokter difokuskan pada penyakit yang diderita pasien  semata,  sedangkan psikososial kurang mendapat perhatian. Tujuan pelaksaan perawatan yang sebenarnya yaitu manusia seutuhnya yang meliputi bio, psiko dan sosial.
c)         Dokter kurang tanggap terhadap kebutuhan, keluhan-keluhan, serta kurang memperhatikan apa yang dirasakan oleh pasien sehingga menghambat hubungan baik.
c.     Tahap interaksi pada komunikasi terapeutik
Wood mengatakan pada umumnya hubungan antar pribadi berkembang melalui tahap-tahap yaitu :
(a) Tahap awal atau tahap orientasi pada tahap ini antara petugas dan pasien terjadi kontak dan pada tahap iini penampilan fisik begitu penting karena dimensi fisik paling terbuka untuk diamati. Kualitas-kualitas lain seperti sifat bersahabat kehangatan, keterbukaan dan dinamisme juga terungkap. Yang dapat dialkukan pada terapi ini menurut purwanto ialah pengenalan, mengidentifikasi masalah dan mengukur tingkat kecemasan diri pasien.
 (b)  Tahap lanjutan adalah tahap pengenalan lebih jauh, menurut purwanto (1994) dialkukan untuk meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah yang ada, menurut De Vito (1997) komunikasi pada tahap ini mengikatkan pada diri kita untuk lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita. Pada tahap ini termasuk pada tahap persahabatan yang menghendaki agar kedua pihak harus merasa mempunyai kedudukan yang sama, dalam artian ada keseimbangan dan kesejajaran kedudukan.
        Argyle dan Henderson  mengemukakan, persahabatan mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
1) Membagi pengalaman agar kedua pihak merasa sama-sama puas dan sukses
2)  Menunjukan hubungan emosional
3)  Membuat pihak lain menjadi senang
4. Membantu sesama kalau dia berhalangan untuk suatu urusan
 Purwanto (1994) mengatakan pada tahap komunikasi terapeutik ini harus
 1) melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah yang ada.
 2) meningkatkan komunikasi.
 3) mempertahankan tujuan yang telah disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada.
 Secara psikologis komunikasi yang bersifat terapeutik akan membuat pasien lebih tenang, dan tidak gelisah.
Tahapan terminasi menurut Purwanto (Suryani, 2006: 59), ‘pada tahap ini terjadi pengikatan antar pribadi yang lebih jauh, merupakan fase persiapan mental untuk membuat perencanaan tentang kesimpulan perawatan yang didapat dan mempertahankan batas hubungan yang ditentukan, yang diukur antara lain mengantisipasi masalah yang akan timbul karena pada tahap ini merupakan tahap persiapan mental atas rencana pengobatan, melakukan peningkatan komunikasi untuk mengurangi ketergantungan pasien pada petugas. Terminasi merupakan akhir dari setiap pertemuan antara petugas dengan pasien.’

Menurut Uripni (Suryani, 2006: 61) bahwa :   Tahap terminasi dibagi dua, yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara adalah akhir dari setiap pertemuan, pada terminasi ini pasien akan bertemu kembali pada waktu yang telah ditentukan, sedangkan terminasi akhir terjadi jika klien selesai menjalani pengobatan.

d.    Prinsip dasar Komunikasi Terapiutik
        Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam membangun dan mempertahankan hubungan yang terapiutik.
1)   Hubungan dokter dengan  pasien adalah hubungan terapiutik yang saling menguntungkan. Kualitas hubungan dokter dan pasien ditentukan oleh bagaimana dokter mendefinisikan dirinya sebagai manusia (human). Hubungan dokter dan pasien tidak hanya sekedar hubungan seorang penolong dengan pasiennya tapi lebih dari itu, yaitu hubungan antara manusia yang bermartabat.
2)   Dokter harus menghargai keunikan pasien. Tiap individu mempunyai karakter yang berbeda-beda. Karena itu dokter harus memahami perasaan dan perilaku pasien dengan melihat perbedaan latar belakang keluarga, budaya dan keunikan setiap individu.
3)   Semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi maupun penerima pesan  dalam hal ini dokter harus mampu menjaga harga dirinya dan harga diri pasien.
4)   Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya (trust)  harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan alternative pemecahan masalah. Hubungan saling percaya antara dokter dan pasien adalah kunci dari komunikasi terapiutik.
e.     Tahapan atau Fase dalam Komunikasi Terapeutik
 Komunikasi terapeutik terdiri atas 4 fase, yaitu fase pra interaksi, fase orientasi, fase kerja dan fase terminasi. Setiap fase atau tahap komunikasi terapeutik mencerminkan uraian tugas dari petugas. Purwanto (1994) membagi tahapan komunikasi dalam tiga fase, yaitu fase orientasi, fase lanjutan dan fase terminasi.
1) Fase Prainteraksi
Pada fase prainteraksi ini, petugas harus mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan sendiri. Petugas juga perlu menganalisa kekuatan kelemahanprofesional diri. Selanjutnya mencari data tentang klien jika mungkin, dan merencanakan pertemuan pertama dengan pasien.
2)  Fase Orientasi
 Fase ini meliputi pengenalan dengan pasien, persetujuan komunikasi       atau kontrak komunikasi dengan pasien, serta penentuan program orientasi. Program orientasi tersebut meliputi penentuan batas hubungan, pengidentifikasian masalah, mengakaji tingkat kecemasan diri sendiri dan pasien, serta mengkaji apa yang diharapkan dari komunikasi yang akan dilakukan bersama antara petugas dan klien.
Tugas petugas pada fase ini adalah menentukan alasan klien minta pertolongan, kemudian membina rasa percaya, penerimaan dan komunikasi terbuka. Merumuskan kontrak bersama klien, mengeksplorasi pikiran, perasaan dan perbuatan klien sangat penting dilakukan petugas pada tahap orientasi ini. Dengan demikian petugas dapat mengidentifikasi masalah klien, dan selanjutnya merumuskan tujuan dengan klien.
3) Fase kerja (lanjutan)
                    Pada fase kerja ini petugas perlu meningkatkan interaksi dan  mengembangkan faktor fungsional dari komunikasi terapeutik yang dilakukan. Meningkatkan interaksi sosial dengan cara meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, atau dengan menggunakan teknik komunikasi terapeutik sebagai cara pemecahan dan dalam mengembangkan hubungan kerja sama. Mengembangkan atau meningkatkan faktor fungsional komunikasi terapeutik dengan melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah yang ada, meningkatkan komunikasipasien dan mengurangi ketergantungan pasien pada dokter , dan mempertahankan tujuan yang telah disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada.
Tugas dokter  pada fase kerja ini adalah mengeksplorasi stressor yangterjadi pada klien dengan tepat. Dokter  juga perlu mendorong perkembangan kesadaran diri klien dan pemakaian mekanisme koping yang konstruktif, dan mengarahkan atau mengatasi penolakan perilaku adaptif.
4)Fase terminasi
 Fase terminasi ini merupakan fase persiapan mental untuk  membuat perencanaan tentang kesimpulan pengobatan yang telah didapatkan dan mempertahankan batas hubungan yang telah ditentukan. Petugas harus mengantisipasi masalah yang akan timbul pada fase ini karena pasien mungkin menjadi tergantung pada petugas. Pada fase inimemungkinkan ingatan pasien pada pengalaman perpisahan sebelumnya, sehingga pasien merasa sunyi, menolak dan depresi. Diskusikan perasaan-perasaan tentang terminasi. Pada fase terminasi tugas petugas adalah menciptakan realitas perpisahan. Petugas juga dapat membicarakan proses terapi dan pencapaian tujuan. Saling mengeksplorasi perasaan bersama klien tentang penolakan dan kehilangan, sedih, marah dan perilaku lain, yang mungkin terjadi pada fase ini.
f.     Teknik Umum untuk Berkomunikasi dengan Pasien Paska stroke Kronik
a)    Menunjukkan Hormat dan Keprihatinan
Komunikasi pasien yang baik didasarkan pada respect atau hormat kepada pasien dan memahami serta  mengapresiasi setiap pasien sebagai sosok manusia yang unik Untuk menunjukkan rasa hormat menunjukkan rasa hormat, anda harus menghadapi pasien secara formal dan menyapa dengan “Bapak” atau “Ibu”, kecuali pasien sebelumnya telah meminta anda untuk memanggil dengan nama pertamanya, dan hindarkan menggunakan istilah yang merendahkan seperti “manisku”, “sayangku”, ‘cintaku”. Berkomunikasi yang saling bertatap mata dengan duduk di kursi dan langsung menatap pasien. Dengan melakukan hal ini, anda menunjukkan perhatian sejati dan aktif mendengarkan, serta membantu pasien untuk mendengar dan memahami anda secara lebih baik. Sentuhan lembut di tangan, lengan, atau pundak pasien akan menyampaikan rasa turut prihatin dan perhatian.
b)   Memastikan bahwa Pasien Didengar dan Dipahami 
Mempertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci komunikasi efektif antara pasien  dan dokter. Membiarkan pasien untuk berbicara beberapa menit tentang masalahnya tanpa interupsi akan memberikan lebih banyak informasi daripada riwayat pendukung yang terstruktur cepat. Merasa sedang diburu-buru akan menyebabkan mereka merasa bahwa mereka sedang tidak didengarkan atau dipahami. Penelitian menunjukkan bahwa pasien paska stroke kronik dan dokter sering tidak sepaham tentang tujuan dan masalah medis yang dihadapi. Komunikasi yang buruk dapat mengganggu pertukaran informasi serta menurunkan kepuasan pasien.  
Pada umumnya, anda harus berbicara pelan, jelas, dan keras tanpa berteriak, menggunakan bahasa dan kalimat yang singkat dan sederhana. Karena pasien lanjut usia umumnya lebih sedikit bertanya dan menunggu untuk ditanya sesuai kewenangan dokter, khususnya penting untuk sering merangkum dan memancing pertanyaan.
c)     Menghindari Ageism
Salah satu hal terpenting yang harus diingat ketika berkomunikasi dengan pasienadalah menghindarkanageis m.Ageis m, suatu istilah yang pertama disampaikan oleh Robert Butler, direktur pertama the National Institute on Aging, adalah systematic stereotyping dan diskriminasi terhadap seseorang karena mereka berusia lanjut (Butler, 1969). Ageis m adalah hal yang lazim pada perawatan kesehatan dan dapat direfleksikan dalam tindakan seperti meremehkan masalah medis, menggunakan bahasa yang bersifat merendahkan, hanya memberikan sedikit edukasi tentang regimen preventif, menawarkan sedikit pengobatan untuk masalah kesehatan mental, menggunakan panggilan yang bernada menghina, menghabiskan lebih sedikit masalah psikososial, dan membuat stereotype orang tua.
Untuk menghindarkan ageism, mulailah mengenal pasien sebagai satu pribadi dengan riwayat dan penyelesaian yang jelas. Pendekatan ini memungkinkan anda untuk menemui setiap pasien paska strok kronik sebagai individu yang unik dengan pengalaman seumur hidup yang berharga bukan orang tua yang tidak produktif dan lemah.
Juga penting untuk tidak mengasumsikan bahwa semua pasien paska stroke kronik  adalah sama. Bisa saja dijumpai “orang berjiwa muda” dengan usia 85 tahun serta “orang berjiwa tua” dengan usia 60 tahun. Setiap pasien dan setiap masalah harus diperlakukan dengan unik.
d)   Mengenal Kultur dan Budaya
Mengenal latar belakang kultur dan budaya pasien untuk kemudian mengaplikasikannya dalam komunikasi dokter-pasien paska stroke juga merupakan hal penting dalam mempengaruhi persepsi pasien terhadap baik dan berkualitasnya pelayanan kesehatan yang diberikan dokter.
g.  Komunikasi Verbal dan Nonverbal
       1)  Komunikasi Verbal
Merupakan jenis komunikasi yang paling lazim digunakan. Dalam pelayanan dokter di rumah sakit komunikasi secara verbal sangat banyak dilakukan dalam memberikan pelayanan. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan idenya atau perasaan, membangkitkan respon emosional atau menguraikan objek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi dan menguji minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk merespon secara langsung.
Komunikasi verbal yang efektif dipengaruhi oleh :
a)      Kejelasan
Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan berbicara secara lambat dan mengucapkan kata dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami, demikian juga mengulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan.
b)      Perbendaharaan Kata
Komunikasi tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan istilah-istilah teknis yang digunakan dalam kedokteran. Jika istilah tersebut digunakan oleh dokter, pasien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang dimengerti oleh pasien.
c)      Arti denotative dan konotatif
Arti denotative memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran atau perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata. Kata serius dipahami pasien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi dokter akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan mendekati kematian. Ketika berkomunikasi dengan pasien dokter harus hati-hati memilih kata-kata sehingga tidak mudah untuk disalahtafsirkan.
d)     Kecepatan bicara
Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal. Selaan (jedah waktu) yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa dokter sedang menyembunyikan sesuatu terhadap pasien. Dokter sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata menjadi tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu dan member waktu pada pendengar untuk mendengarkan  dan memahami arti kata. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada satu hal dan member waktu pada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan untuk memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya atau menyimak isyarat nonverbal dari klien yang mungkin menunjukkan ketidakmengertian. Ketika dokter merasa ragu apakah dia berbicara cepat atau lambat, dokter bisa menyakan kepada pasien apakah dia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan apakah diulang.
2) Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah pengiriman pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada oirang lain. Dokter perlu menyadari pesan verbal dan nonverbal yang disampaikan pasien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi, karena isyarat nonverbal menambah arti terhadap pesan verbal. Dokter yang akan lebih mampu memahami pasien, mendeteksi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan dokter.
Komunikasi nonverbal mempunyai dampak yang lebih besar daripada komunikasi verbal.
Komunikasi nonverbal dapat diamati melalui :
(a)      Penampilan personal
Penampilan seseorang merupakan salah satu hal utama yang diperhatikan selama komunikasi interpersonal. Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan kepribadian, status social, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri. Dokter yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra diri yang positif dan sikap profesional yang positif. Penampilan fisik dokter mempengaruhi persepsi pasien terhadap pelayanan yang diterima, karena tiap pasien mempunyai pandangan atau citra diri bagaimana seharusnya dokter berpenampilan. Walaupun penempilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan, tetapi penampilan dokter dapat mempengaruhinya dalam membina hubungan saling percaya dengan pasien.
(b)     Intonasi (nada suara)
Nada suara pembicara mempunyai dampak yang besar terhadap arti peesan yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat secara langsung mempengaruhi nada suaranya. Dokter harus menyadari dan mengontrol emosinya ketika sedang berinteraksi dengan pasien, karena maksud untuk menyampaikan perhatian yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh dana suara dokter yang kurang simpatik.
(c)      Ekspresi wajah
Hasil penelitian yang dilakukan Ellis, R, Gates, R dan Kenworthy pada tahun 2000 bahwa ada enam keadaan emosi utama yang tampak melalui ekspresi wajah yaitu terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan sedih. Ekspresi wajah sering digunakan sebagai dasar penting dalam menentukan respon komunikasi atau penerima pesan. Orang yang tidak percaya atau orang yang berbohong akan tampak dalam ekspresi wajahnya. Ekspresi wajah dapat meliputi posisi mulut, alis, muka tatapan mata.
Orang yang mempertahankan kontak mata selama pembicaraan dipersepsikan sebagai orang yang dapat dipercaya. Dokter sebaiknya tidak memandang ke bawah ketika sedang berbicara dengan pasien, oleh karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk sehingga dokter tidak tampak dominan.
(d)     Sikap tubuh dan langkah
Sikap tubuh dan langkah menggambarkan sikap, emosi, konsep diri, dan keadaan fisik. Dokter dapat mengumpulkan informasi yang bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkahnya serta memperoleh umpan balik dari orang  lain. Langkah dapat dipengaruhi oleh factor fisik seperti rasa sakit, obat atau fraktur.
(e)      Jarak
Jarak dalam berkomunikasi sangat penting diperhatikan oleh dokter     karena akan mempengaruhi kelancaran komunikasi. Jarak yang terlalu jauh menyebabkan dokter sulit untuk berespons secara tepat karena dokter tidak bisa melakukan active listening.  Jarak untuk hubungan intim terapiutik adalah 0-45 cm, sedangkan jarak pribadi adalah 45-120 cm. Berdasarkan pengalaman jarak yang paling nyaman bagi dokter dan pasien dalam berinteraksi adalah 30-40 cm, akan tetapi pada pasien-pasien dengan prilaku kekerasan, jarak yang bisa digunakan antara 100-120 cm.
(f)      Sentuhan
Sentuhan merupakan alat komunikasi yang sangat kuat. Sentuhan juga dapat menimbulkan reaksi positif atau negative, bergantung pada orang yang terlibat dan lingkungan di sekililing mereka. Sentuhan penting dilakukan pada saat pasien merasa sangat sedih. Sentuhan pada situasi ini mempunyai arti empati. Sentuhan juga bisa berarti “Saya peduli”. (Stuart, G. W, 1998 dalam Suryani: 49).
Akan tetapi pada pelaksanaannya sangat perlu untuk memahami siapa, kapan dan mengapa sentuhan dilakukan, karena komunikasi nonverbal mempunyai efek yang berbeda pada setiap individu.
2.        Pasien Paska Stroke kronik
a.    Pengertian
Secara definisi pasien paska stroke kronik  adalah seseorang yang mengalami serangan tiba-tiba akibat kelainan pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak. Kejadian ini sering menyebabkan kelainan neurologis seperti: kelemahan motorik Anggota Gerak Atas (AGA) dan  Anggota Gerak Bawah (AGB) tercatat 88% pasien. Kesulitan menelan (50%) dan berbicara (30%). Mengompol. Kesulitan untuk mengingat dan berpikir. Bahkan ada yang sampai terjadi perubahan kepribadian menjadi pemarah, perusak.
      Stroke sendiri merupakan suatu kumpulan gejala gangguan otak yang terjadi akibat gangguan sirkulasi darah di otak. Stroke dapat dibedakan menjadi stroke berdarah dan tidak berdarah. Penyakit ini merupakan penyebab kematian ketiga di dunia dan di Indonesia stroke juga merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama. Faktor resiko stroke adalah umur, jenis kelamin, suku bangsa, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus atau penyakit gula, faktor keturunan, kegemukan, diet yang salah, hiperkolesterolemia, merokok dan kurangnya aktivitas fisik.
Word Healt Organization (WHO) mendefenisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu.
Stroke termasuk penyakit pembuluh darah otak (serebrovaskular) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen keotak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan penyempitan atau pecahnya pembuluh darah.
      Stroke sebenarnya dapat terjadi pada siapa saja dan di umur berapapun tetapi tiga perempat dari penderita stroke adalah rata-rata berusia di atas 65 tahun atau lebih. Kenyataan di lapangan saat ini, terjadi suatu fenomena bahwa stroke terjadi pada rerata umur yang lebih muda yaitu sekitar umur empat puluhan dan lima puluhan. Data di Amerika mengatakan bahwa sekitar 10-27% dari 600.000 penderita stroke didiagnosis menderita depresi berat dalam waktu setahun sejak awal mengalami stroke. Sebagai tambahan 15 sampai 40% mengalami beberapa gejala depresi dalam dua bulan pertama setelah stroke.
Depresi sendiri dapat mengenai siapa saja, namun orang dengan penyakit serius seperti stroke merupakan salah satu faktor risiko yang berpengaruh. Suatu diagnosis dan terapi depresi yang tepat pada pasien stroke dapat memperbaiki penyakit strokenya sendiri dengan meningkatkan status medisnya, meningkatkan kualitas hidupnya dan mengurangi kesakitan dan ketidakberdayaannya. Pengobatan depresi juga dapat memperpendek proses rehabilitasi yang akhirnya menuju percepatan dari proses penyembuhan. Proses ini juga akan mengurangi biaya perawatan yang dikeluarkan dalam pengobatan pasien stroke.
      Keparahan dari depresi yang mengikuti stroke ditentukan juga oleh beberapa faktor antara lain lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat keluarga yang mengalami depresi dan fungsi sosial sebelum terserang stroke. Pasien yang selamat dari serangan stroke namun menderita depresi terutama depresi berat biasanya akan lebih sulit diminta kepatuhannya dalam berobat, pasien juga menjadi lebih mudah marah dan tersinggung serta dapat berubah kepribadiannya.
      Sayangnya terkadang depresi pasca stroke seringkali tidak terdiagnosis atau dianggap sebagai reaksi yang tidak terelakkan dari serangan stroke. Seharusnya depresi dilihat sebagai suatu hal yang tidak wajar dan ditatalaksana secara optimal bersamaan dengan tatalaksana untuk strokenya.
Depresi pada stroke terjadi karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah pada penderita stroke terjadi sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak yang menyebabkan jalur komunikasi ke daerah otak tersebut menjadi terhambat. Kita ketahui bahwa otak terdiri dari beberapa bagian yang tugasnya bermacam, macam. Yang biasanya terkena pada pasien stroke adalah bagian otak yang mengatur fungsi perasaan dan gerakan pasien sehingga yang terlihat pada diri penderita stroke adalah kesulitan dalam melakukan gerakan akibat lumpuhnya tubuh sebagian dan gangguan suasana perasaan dan tingkah laku.
      Selain dari adanya bagian otak yang mengatur pusat perasaan yang terkena, depresi pada pasien stroke juga disebabkan karena adanya ketidakmampuan pasien dalam melakukan sesuatu yang biasanya dikerjakan sebelum terkena stroke. Hal ini terkadang menyebabkan pasien menjadi merasa dirinya tidak berguna lagi karena banyaknya keterbatasan yang ada dalam diri pasien akibat penyakitnya itu.
Stroke dibedakan atas dua yaitu stroke iskemik yaitu terdapatnya sumbatan pada pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti 80%  maupun stroke hemorragik  atau stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah. Sementara yang dimaksud dengan pasien paska stroke kronik adalah pasien yang telah melewati stroke yang mendapatkan pelayanan kesehatan baik rawat jalan maupun rawan nginap.
b.    Tanda dan Gejala-gejala  Paska Stroke
      Berdasarkan lokasinya di tubuh pasien paska stroke terdapat gejala-gejala sebagai berikut:
1)         Bagian sistem saraf pusat akan terjadi kelemahan otot (hemiplegia), kaku, menurunnya fungsi sensorik.
2)        Batang otak akan terjadi penurunan kemampuan membau, mengecap, mendengar dan melihat parsial atau keseluruhan refleks menurun, ekspresi wajah terganggu, pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.
3)        Cerebral cortex : aphasia, apraxia, daya ingat menurun, kebingungan dan lai-lain.
c.    Faktor Penyebab Stroke
Faktor penyebab resiko medis stroke antara lain penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi), kolesterol, pengerasan pembuluj darah (aterosklerosis), gangguan jantung, penyakit gula (diabetes mellitus), ada riwayat stroke dalam keluarga, migrain.
        Pemicu stroke pada dasarnya adalah suasana hati yang tidak nyaman atau suka marah-marah, terlalu banyak minum alkohol, merokok dan senang mengkomsumsi makanan yang berlemak.
        Dengan kondisi pasien seperti diatas yang mengalami paska stroke kronik maka komunikasi yang baik antara dokter dan pasien perluh diperhatikan.
B.  Model Berpikir
        Komunikasi terapiutik dokter pada pasien dapat dibedakan atas dua yaitu komunikasi verbal atau komunikasi yang mempergunakan lambang bahasa dalam penyampaian pesan kepada pasien, sedang komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang mempergunakan lambang bukan bahasa dapat terwujud gambar, isyarat dan lain-lain. Kedua model komunikasi tersebut yang digunakan oleh dokter dalam memberikan pelayanan pemeriksaan dan pengobatan serta evaluasi kepada pasien paska stroke kronik.
           Adapun model berpikir pada penelitian ini  adalah :
                                                  Komunikasi
                                                      Verbal


Komunikasi                                                                    Pasien  Paska Stroke Kronik
Terapiutik
                                                   Komunikas 
                                                    Nonverval


A.      Pertanyaan Penelitian
       Adapun pertanyaan dalam penelitian adalalah :
             1. Bagaimana inplementasi komunikasi terapiutik dokter pada pasien paska stroke kronik di RSUD. Daya Makassar.
             2. Bagaimana persepsi pasien paska stroke kronik tentang komunikasi terapiutik dokter.
             3. Bagaimana persepsi dokter terhadap  komunikasi terapiutik pada pasien     paska stroke kronik.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.  Metode Penelitian
       Untuk mendapatkan pemahaman tentang implementasi komunikasi terapiutik dokter pada pasien paska stroke kronik dengan unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai dengan rumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian  maka akan digunakan metode observasi dan  wawancara dengan paradigma penelitian kualitatif. Yang mana akan menggunakan pengamatan, interaksi dengan pasien dan dokter, berusaha memahami tafsiran mereka melalui wawancara tentang komunikasi terapiutik dokter pada pasien paska stroke kronik.
B.  Unit Analisis
Yang menjadi objek  dalam penelitian ini adalah pasien RSUD. Daya Makassar dengan kondisi paska stroke kronik serta dokter yang merawatnya.  Objek penelitian tersebut tidak dibatasi oleh umur dan jenis kelamin. Namun demikian tetap mengikuti kriteria penerimaan sampel yakni pasien paska stroke kronik yang dapat melakukan komunikasi secara verbal. Hal ini bertujuan agar wawancara yang dilakukan dapat memperoleh hasil yang seperti diinginkan dalam penelitian ini.
C.  Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari data primer yakni data diperoleh dari hasil observasi dan wawancara langsung dengan pasien paska stroke kronik dan dokter yang menangani pasien tersebut.
Sumber data dan instrumen  dalam penelitian yakni mengutamakan perpektif emic atau mementingkan pandangan informan melalui wawancara tentang  persepsi dokter dan pasien paska stroke kronik mengenai implementasi komunikasi terapiutik selama penelitian.
D.  Prosedur Pengolahan dan Analisa Data
Proses analisis data yang digunanakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep diberikan Miles and Huberman yakni dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
J. Guwandi, (2007), Dokter, Pasien dan Hukum, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
M. Jusuf Hanafiah and Amri Amir, (2009), Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,  Edisi 4, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Riduwan, (2010), Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian, Bandung , Penerbit Alfabeta.

…………, (2009), Pedoman Penulisan Tesis, STIA-LAN Makassar.

Suryani, (2006), Komunikasi Terapiutik Teori dan Praktek, Penerbit Buku      Jakarta, Kedokteran EGC.

Susan J. Garrison, (20010, Dasar-dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik, Alih Bahasa Anton. C Widjaja, Jakarta, Penerbit Hipokrates.

Yanti Setianti, (2007), Komunikasi Terapiutik Antara Perawat dan Pasien,  Jatinagor, Universitas Pajajaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar