MUHAMMAD AKRAF
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Masalah
Sejak awal sejarah yang tercatat
mengenai ummat manusia, sudah dikenal adanya hubungan kepercayaan antara dua
insan, yaitu manusia penyembuh dan penderita yang ingin disembuhkan. Dalam
zaman modern, hubungan ini disebut transaksi
terapiutik atau kontrak terapiutik
antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan ini merupakan hubungan yang
sangat spesifik yang dilakukan dengan berlandaskan rasa hormat menghormati dan
percaya-mempercayai (konfidensial),
serta senangtiasa diliputi oleh segala emosi harapan, dan kekhawatiran mahkluk
insani.
Dokter adalah pihak yang mempunyai
keahlian di bidang kedokteran, sedangkan pasien adalah orang sakit yang
membutuhkan bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Pada
kedudukan ini dokter adalah orang sehat yang juga pakar dalam bidang penyakit
sementara pasien adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya. Dalam
melakukan interaksi maka dibutuhkan komunikasi antara dokter dan pasien.
Komunikasi merupakan proses yang sangat khusus dan berarti dalam
hubungan antar manusia. Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan
dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi menjadi
tidak efektif karena kesalahan dalam menafsirkan pesan yang diterimanya. Jika
kesalahan penerimaaan pesan terus-menerus berlanjut dapat berakibat pada
ketidakpuasan baik dari pasien
maupun tenaga kesehatan itu sendiri.
Komunikasi
efektif dokter dan pasien biasa juga disebut sebagai komunikasi terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien (Depkes
RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah
proses yang digunakan dengan memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada pasien.
Komunikasi terapeutik termasuk
komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara
dokter dengan pasien. Persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya
saling membutuhkan antara dokter dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke
dalam komunikasi pribadi di antara dokter dan pasien, dokter membantu dan pasien menerima bantuan.
Penelitian ini dilatar belakangi
karena sulitnya terjalin komunikasi terapiutik antara dokter dan pasien secara
umum dan pasien paska stroke pada khususnya yang mana dengan munculnya sorotan
terhadap dokter yang merupakan lini terdepan dalam konsep pertolongan pertama
dan adanya anggapan dari pasien dan keluarga pasien bahwa dokter memiliki
kedudukan yang lebih tinggi sehingga pasien bersikap pasif saat berinteraksi
dengan dokter. Disamping itu karena seorang dokter memiliki waktu yang pendek
karena kesibukan sehingga sangat terbatas waktu yang digunakan dalam
berinterksi dengan pasiennya.
Peneliti juga tertarik meneliti
mengenai pasien paska stroke kronik tanpa gangguan bicara dengan alasan bahwa
pasien paska stroke banyak di rumah sakit juga karena pasien paska stroke
biasanya dirawat agak lama sehingga peneliti memiliki waktu yang cukup untuk
melakukan penelitian serta belum adanya penelitian yang mengkhususkan pada
pasien paska stroke.
Beberapa penelitian sudah mengangkat
tentang komunikasi terapiutik pada pasien diantaranya yang dilakukan oleh Yanti
Setianti dari Universitas Pajajaran
Fakultas Ilmu Komunikasi Jatinagor pada tahun 2007 dengan judul “Komunikasi
Terapiutik Antara Perawat dan Pasien”. Namun penelitian ini sangat berbeda
dengan penelitian yang akan dilakukan terutama pada objek penelitian bukan pada
perawat tapi pada dokter yang bertugas di rumah sakit serta dilakukan terkhusus
pada pasien paska stroke atau bukan pada pasien pada umumnya.
Adapun masalah yang akan diteliti
adalah pemberiaan komunikasi terapiutik dokter pada pasien paska stroke kronik baik yang non-hemoragi maupun yang hemoragi.
2. Fokus Masalah
Komunikasi yang baik dengan pasien
adalah kunci keberhasilan untuk masalah klinis, hubungan dokter dan pasien yang
lebih baik, dan keluaran perawatan kesehatan. Keberhasilan komunikasi
memerlukan pendekatan efektif kepada pasien, kemampuan untuk mendengarkan dan
mempersilahkan pasien untuk bercerita, serta cakap dalam melakukan investigasi
untuk
Walaupun pelayanan kesehatan secara medis pada
pasien telah cukup baik tetapi mereka
tetap memerlukan komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam
penanganan persoalan kesehatan mereka.
Komunikasi yang baik dalam konteks
hubungan dokter dan pasien haruslah efektif, komunikasi yang efektif antara
dokter dan pasien akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan pasien. Komunikasi
yang efektif ini dapat mengikutsertakan partisipasi aktif pasien dalam pengambilan
keputusan, juga kepuasan pada pasien. Bentuk-bentuk komunikasi seperti itu
seakan membangun hubungan yang berkelanjutan antara dokter dan pasien dan
terlihat penting dalam penurunan hospitalisasi
pada pasien.
Komunikasi yang baik dengan pasien adalah
kunci keberhasilan untuk masalah klinis, hubungan dokter dan pasien yang lebih baik, dan keluaran
perawatan kesehatan. Keberhasilan komunikasi memerlukan pendekatan efektif kepada pasien, kemampuan untuk mendengarkan
dan mempersilahkan pasien untuk bercerita.
Dengan demikian peneliti melihat
penomena ini sebagai sesuatu yang selalu berulang baik di rumah sakit daerah
maupun rumah sakit pemerintah hal tersebut
menimbulkan suatu tanda tanya yang besar mengapa komunikasi terapiutik
sulit dilakukan antara dokter dan pasien?, sehingga hal ini akan berdampak
buruk terhadap hubungan dokter dan pasien. Apakah selama ini tidak ada evaluasi
mengenai hubungan terapiutik dokter dan pasien?, serta apakah hak dan kewajiban
dokter dan pasien tidak terpenuhi secara baik di rumah sakit?. Banyak hal yang
menjadi pertanyaan peneliti sehingga tertarik untuk mengangkat topik ini sebagai
penelitian.
3. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui bagaimana implementasi
komunikasi terapiutik dokter pada pasien paska stoke kronik di RSUD. Daya
Makassar.
b. Mengetahui persepsi pasien paska stroke
kronik tentang komunikasi terapiutik dokter.
c. Mengetahui persepsi dokter
terhadap komunikasi terapiutik pada
pasien paska stroke kronik.
d. Mengetahui implementasi komunikasi
terapiutik dokter pada pasien paska stroke kronik.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teori
1)
Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
2)
Menambah
pengetahuan dan wawasan peneliti lain dalam hal hubungan terapiutik dokter dan
pasien paska stroke kronik.
b. Manfaat Metodologi
Sebagai bahan rujukan bagi peneliti
lain yang akan menggunakan paradigma kualitatif dalam melakukan penelitian.
c.
Manfaat
Praktis
1) Sebagai bahan masukan bagi para
dokter dan pasien secara umum dan pasien paska stroke khususnya tentang
komunikasi terapiutik.
2) Sebagai sumber informasi bagi dokter
dan pasien tentang komunikasi terapiutik.
3) Sebagai salah satu sarana untuk
meningkatkan hubungan antara dokter dan pasien khususnya tentang komunikasi
terapiutik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1.
Komunikasi Terapeutik Dokter
a.
Definisi
Komunikasi
dalam bidang kedokteran merupakan proses untuk menciptakan hubungan antara
dokter dan pasien untuk mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana
tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Oleh
karena itu komunikasi terapeutik memegang peranan penting memecahkan masalah
yang dihadapi pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi
proposional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien pada komunikasi
terapeutik terdapat dua komonen penting yaitu proses komunikasinya dan efek
komunikasinya.
Komunikasi
terapeuitk termasuk komunikasi untuk personal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antar dokter dengan pasien. Menurut Purwanto komunikasi
terapeutik merupakan bentuk keterampilan dasar untuk melakukan wawancara dan
penyuluhan dalam artian wawancara digunakan pada saat dokter melakukan
pengkajian member penyuluhan kesehatan dan perencaan pengobatan.
Northouse (Suryani, 2006: 12) mengemukakan
bahwa komunikasi terapiutik adalah ‘kemampuan atau keterampilan dokter untuk membantu pasien untuk
beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan psikologis dan belajar
bagaimana berhubungan denga orang lain.’
Stuart. G. W (Suryani, 2006: 16)
mengemukakan bahwa komunikasi terapiutik ‘merupakan hubungan interpersonal
antara dokter dan pasien, dalam
hubungan ini dokter dan pasien memperoleh pengalaman belajar sesama dalam
rangka memperbaiki pengalaman emosional pasien.’
Sedangkan
Hibdon, S (2000) menyatakan bahwa pendekatan konseling yang memungkinkan pasien
menemukan siapa dirinya merupakan fokus dari komunikasi terapiutik.
Dari
beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa komunikasi terapiutik adalah
komunikasi yang dilakukan atau dirancang untuk tujuan terapi.
b.
Tujuan
komunikasi terapiutik
Tujuan
komunikasi terapiutik adalah untuk mengembangkan pribadi pasien kea rah yang
lebih positif atau adaftif dan diarahkan pada pertumbuhan pasien yang meliputi
:
1)
Realisasi
diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan diri. Melalui komunikasi
terapiutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri pasien. Pasien yang tadinya
tidak bisa menerima diri apa adanya atau merasa rendah diri, setelah
berkomunikasi terapiutik dengan dokter akan mampu menerima dirinya. Seorang
pasien yang mengalami kelumpuhan atau kelemahan separuh tubuhnya (hemiplegia
atau hemipharese) biasanya akan mengalami gangguan gambaran diri, gangguan
harga diri, merasa tidak berarti dan tidak berharga pada pasangannyasehingga
mungkin akan membenci dirinya dan pada akhirnya merasa putus asa dan depressi.
Dengan melakukan komunikasi terapiutik pada pasien tersebut, diharapkan seorang
dokter dapat mengubah cara pandang pasien tentang penyakitnya, dirinya dan masa
depannya sehingga pasien dapat menghargai dan menerima diri apa adanya.
2)
Kemampuan
membina hubungan interpersonal yang tidak superficial dan saling bergantung
dengan orang lain. Melalui komunikasi terapiutik, pasien akan belajar bagaimana
menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan
menerima pasien apa adanya, dokter akan dapat meningkatkan kemampuan pasien
dalam membina hubungan saling percaya. Roger, (1974) dan Abraham, (1997) dalam
Suryani, (2006: 13) mengemukakan bahwa ‘hubungan mendalam yang digunakan dalam
proses interaksi antara perawat dan pasien merupakan area untuk mengekresikan
kebutuhan, memecahkan masalah dan meningkatkan kemampuan koping.’
3)
Meningkatkan
fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang
realistis. Terkadang pasien menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu
tinggi tanpa mengukur kemampuannya. Misalnya seorang pasien dengan kelumpuhan
separuh tubuh akibat paska stroke
mengatakan bahwa setelah pulang dia ingin menjadi atlit lari. Hal ini
tidak mungkin tercapai dan akan berdampak pada harga diri pasien. Individu yang
merasa kenyataan dirinya mendekati ideal diri mempunyai harga diri yang tinggi
sedangkan individu yang merasa kenyataan hidupnya jauh dari ideal dirinya akan
merasa rendah diri. Dalam kasus seperti ini peran seorang dokter adalah membimbing pasien dalam membuat tujuan yang
realistis dan meningkatkan kemampuan pasien memenuhi kebutuhan dirinya.
4)
Rasa
idealitas personal yang jelas dan meningkatkan integritas diri. Identitas
personal disini termasuk status, peran dan jenis kelamin. Pasien yang mengalami
gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri dan
mengalami harga diri yang rendah. Melalui komunikasi terapiutik diharapkan
dokter dapat membantu pasien meningkatkan integritas dirinya dan identitas yang
jelas. Dalam hal ini dokter berusaha menggali semua aspek kehidupan pasien
dimasa sekarang dan masa lalu. Kemudian dokter membantu meningkatkan integritas
diri pasien melalui komunikasi dengan pasien.
Menurut Purwanto tujuan dari komunikasi terapeutik :
a)
Membantu pasien memperjelas dan
mengurangi beban perasaan dan pikiran mempertahakan kekuatan egonya.
b)
Membantu mengambil tindakan yang efektif untuk
mengubah situasi yang ada.
c)
Mengulang keraguan membantu dalam pengambilan
tindakan yang efektif dan mempengaruhi orang lai lingkungan fisik dan dirinya.
Dalam
mencapai tujuan ini sering sekali dokter memenuhi kendala komunikasi yaitu:
a)
Tingkah laku dokter
Dirumah sakit
pemerintah maupun swasta, dokter memegang peranan penting; tingkah laku;
gerak-gerik dokter selalu dinilai oleh masyarakat. Bahkan sering juga surat
kabar memuat berita-berita tentang dokter rumah sakit. Bertindak yang tidak
sebenarnya. Dipandang oleh pasien dokter kurang memperhatikan atau bahkan
melakukan tindakan yang tergesah-gesah dan sebagainya.
b)
Dokter
yang berorientasi rumah sakit
Pelaksanaan dokter difokuskan pada penyakit
yang diderita pasien semata, sedangkan psikososial kurang mendapat
perhatian. Tujuan pelaksaan perawatan yang sebenarnya yaitu manusia seutuhnya
yang meliputi bio, psiko dan sosial.
c)
Dokter
kurang tanggap terhadap kebutuhan, keluhan-keluhan, serta kurang memperhatikan
apa yang dirasakan oleh pasien sehingga menghambat hubungan baik.
c.
Tahap
interaksi pada komunikasi terapeutik
Wood mengatakan pada
umumnya hubungan antar pribadi berkembang melalui tahap-tahap yaitu :
(a)
Tahap awal atau tahap orientasi pada tahap ini antara petugas dan pasien terjadi
kontak dan pada tahap iini penampilan fisik begitu penting karena dimensi fisik
paling terbuka untuk diamati. Kualitas-kualitas lain seperti sifat bersahabat
kehangatan, keterbukaan dan dinamisme juga terungkap. Yang dapat dialkukan pada
terapi ini menurut purwanto ialah pengenalan, mengidentifikasi masalah dan mengukur
tingkat kecemasan diri pasien.
(b) Tahap lanjutan adalah tahap pengenalan lebih
jauh, menurut purwanto (1994) dialkukan untuk meningkatkan sikap penerimaan
satu sama lain untuk mengatasi kecemasan, melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah
yang ada, menurut De Vito (1997) komunikasi pada tahap ini mengikatkan pada
diri kita untuk lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita.
Pada tahap ini termasuk pada tahap persahabatan yang menghendaki agar kedua
pihak harus merasa mempunyai kedudukan yang sama, dalam artian ada keseimbangan
dan kesejajaran kedudukan.
Argyle
dan Henderson mengemukakan, persahabatan
mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
1)
Membagi pengalaman agar kedua pihak merasa sama-sama puas dan sukses
2) Menunjukan hubungan emosional
3) Membuat pihak lain menjadi senang
4. Membantu sesama
kalau dia berhalangan untuk suatu urusan
Purwanto (1994) mengatakan pada tahap
komunikasi terapeutik ini harus
1) melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah
yang ada.
2) meningkatkan komunikasi.
3) mempertahankan tujuan yang telah disepakati
dan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada.
Secara psikologis komunikasi yang bersifat
terapeutik akan membuat pasien lebih tenang, dan tidak gelisah.
Tahapan terminasi
menurut Purwanto (Suryani, 2006: 59), ‘pada tahap ini terjadi pengikatan antar
pribadi yang lebih jauh, merupakan fase persiapan mental untuk membuat
perencanaan tentang kesimpulan perawatan yang didapat dan mempertahankan batas
hubungan yang ditentukan, yang diukur antara lain mengantisipasi masalah yang
akan timbul karena pada tahap ini merupakan tahap persiapan mental atas rencana
pengobatan, melakukan peningkatan komunikasi untuk mengurangi ketergantungan
pasien pada petugas. Terminasi merupakan akhir dari setiap pertemuan antara
petugas dengan pasien.’
Menurut Uripni
(Suryani, 2006: 61) bahwa : Tahap
terminasi dibagi dua, yaitu terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi
sementara adalah akhir dari setiap pertemuan, pada terminasi ini pasien akan
bertemu kembali pada waktu yang telah ditentukan, sedangkan terminasi akhir
terjadi jika klien selesai menjalani pengobatan.
d. Prinsip
dasar Komunikasi Terapiutik
Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami dalam membangun dan
mempertahankan hubungan yang terapiutik.
1) Hubungan
dokter dengan pasien adalah hubungan
terapiutik yang saling menguntungkan. Kualitas hubungan dokter dan pasien
ditentukan oleh bagaimana dokter mendefinisikan dirinya sebagai manusia (human). Hubungan dokter dan pasien tidak
hanya sekedar hubungan seorang penolong dengan pasiennya tapi lebih dari itu,
yaitu hubungan antara manusia yang bermartabat.
2) Dokter
harus menghargai keunikan pasien. Tiap individu mempunyai karakter yang
berbeda-beda. Karena itu dokter harus memahami perasaan dan perilaku pasien
dengan melihat perbedaan latar belakang keluarga, budaya dan keunikan setiap
individu.
3) Semua
komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi maupun
penerima pesan dalam hal ini dokter
harus mampu menjaga harga dirinya dan harga diri pasien.
4) Komunikasi
yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya (trust) harus dicapai
terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan alternative
pemecahan masalah. Hubungan saling percaya antara dokter dan pasien adalah
kunci dari komunikasi terapiutik.
e. Tahapan
atau Fase dalam Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik terdiri atas 4 fase,
yaitu fase pra interaksi, fase orientasi, fase kerja dan fase terminasi. Setiap
fase atau tahap komunikasi terapeutik mencerminkan uraian tugas dari petugas.
Purwanto (1994) membagi tahapan komunikasi dalam tiga fase, yaitu fase
orientasi, fase lanjutan dan fase terminasi.
1) Fase Prainteraksi
1) Fase Prainteraksi
Pada
fase prainteraksi ini, petugas harus mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan
sendiri. Petugas juga perlu menganalisa kekuatan kelemahanprofesional diri.
Selanjutnya mencari data tentang klien jika mungkin, dan merencanakan pertemuan
pertama dengan pasien.
2) Fase Orientasi
Fase ini meliputi pengenalan dengan pasien, persetujuan komunikasi atau kontrak komunikasi dengan pasien, serta penentuan program orientasi. Program orientasi tersebut meliputi penentuan batas hubungan, pengidentifikasian masalah, mengakaji tingkat kecemasan diri sendiri dan pasien, serta mengkaji apa yang diharapkan dari komunikasi yang akan dilakukan bersama antara petugas dan klien.
Tugas petugas pada fase ini adalah menentukan alasan klien minta pertolongan, kemudian membina rasa percaya, penerimaan dan komunikasi terbuka. Merumuskan kontrak bersama klien, mengeksplorasi pikiran, perasaan dan perbuatan klien sangat penting dilakukan petugas pada tahap orientasi ini. Dengan demikian petugas dapat mengidentifikasi masalah klien, dan selanjutnya merumuskan tujuan dengan klien.
Fase ini meliputi pengenalan dengan pasien, persetujuan komunikasi atau kontrak komunikasi dengan pasien, serta penentuan program orientasi. Program orientasi tersebut meliputi penentuan batas hubungan, pengidentifikasian masalah, mengakaji tingkat kecemasan diri sendiri dan pasien, serta mengkaji apa yang diharapkan dari komunikasi yang akan dilakukan bersama antara petugas dan klien.
Tugas petugas pada fase ini adalah menentukan alasan klien minta pertolongan, kemudian membina rasa percaya, penerimaan dan komunikasi terbuka. Merumuskan kontrak bersama klien, mengeksplorasi pikiran, perasaan dan perbuatan klien sangat penting dilakukan petugas pada tahap orientasi ini. Dengan demikian petugas dapat mengidentifikasi masalah klien, dan selanjutnya merumuskan tujuan dengan klien.
3)
Fase kerja (lanjutan)
Pada fase kerja ini petugas perlu meningkatkan
interaksi dan mengembangkan faktor
fungsional dari komunikasi terapeutik yang dilakukan. Meningkatkan interaksi
sosial dengan cara meningkatkan sikap penerimaan satu sama lain untuk mengatasi
kecemasan, atau dengan menggunakan teknik komunikasi terapeutik sebagai cara
pemecahan dan dalam mengembangkan hubungan kerja sama. Mengembangkan atau
meningkatkan faktor fungsional komunikasi terapeutik dengan melanjutkan
pengkajian dan evaluasi masalah yang ada, meningkatkan komunikasipasien dan
mengurangi ketergantungan pasien pada dokter , dan mempertahankan tujuan yang
telah disepakati dan mengambil tindakan berdasarkan masalah yang ada.
Tugas dokter pada fase kerja ini adalah mengeksplorasi stressor yangterjadi pada klien dengan tepat. Dokter juga perlu mendorong perkembangan kesadaran diri klien dan pemakaian mekanisme koping yang konstruktif, dan mengarahkan atau mengatasi penolakan perilaku adaptif.
Tugas dokter pada fase kerja ini adalah mengeksplorasi stressor yangterjadi pada klien dengan tepat. Dokter juga perlu mendorong perkembangan kesadaran diri klien dan pemakaian mekanisme koping yang konstruktif, dan mengarahkan atau mengatasi penolakan perilaku adaptif.
4)Fase
terminasi
Fase terminasi ini merupakan fase persiapan
mental untuk membuat perencanaan tentang
kesimpulan pengobatan yang telah didapatkan dan mempertahankan batas hubungan
yang telah ditentukan. Petugas harus mengantisipasi masalah yang akan timbul
pada fase ini karena pasien mungkin menjadi tergantung pada petugas. Pada fase
inimemungkinkan ingatan pasien pada pengalaman perpisahan sebelumnya, sehingga
pasien merasa sunyi, menolak dan depresi. Diskusikan perasaan-perasaan tentang
terminasi. Pada fase terminasi tugas petugas adalah menciptakan realitas
perpisahan. Petugas juga dapat membicarakan proses terapi dan pencapaian
tujuan. Saling mengeksplorasi perasaan bersama klien tentang penolakan dan
kehilangan, sedih, marah dan perilaku lain, yang mungkin terjadi pada fase ini.
f.
Teknik
Umum untuk Berkomunikasi dengan Pasien Paska stroke Kronik
a)
Menunjukkan
Hormat dan Keprihatinan
Komunikasi pasien yang baik didasarkan
pada respect atau hormat kepada pasien dan memahami serta mengapresiasi setiap pasien sebagai sosok
manusia yang unik Untuk menunjukkan rasa hormat menunjukkan
rasa hormat, anda harus menghadapi pasien secara formal dan menyapa dengan
“Bapak” atau “Ibu”, kecuali pasien sebelumnya telah meminta anda untuk
memanggil dengan nama pertamanya, dan hindarkan menggunakan istilah yang
merendahkan seperti “manisku”, “sayangku”, ‘cintaku”. Berkomunikasi yang saling
bertatap mata dengan duduk di kursi dan langsung menatap pasien. Dengan
melakukan hal ini, anda menunjukkan perhatian sejati dan aktif mendengarkan,
serta membantu pasien untuk mendengar dan memahami anda secara lebih baik.
Sentuhan lembut di tangan, lengan, atau pundak pasien akan menyampaikan rasa
turut prihatin dan perhatian.
b) Memastikan bahwa Pasien Didengar dan
Dipahami
Mempertahankan
langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci komunikasi
efektif antara pasien dan dokter. Membiarkan
pasien untuk berbicara beberapa menit tentang masalahnya tanpa interupsi akan
memberikan lebih banyak informasi daripada riwayat pendukung yang terstruktur
cepat. Merasa sedang diburu-buru akan menyebabkan mereka merasa bahwa mereka
sedang tidak didengarkan atau dipahami. Penelitian menunjukkan bahwa pasien paska
stroke kronik dan dokter sering tidak sepaham tentang tujuan dan masalah medis
yang dihadapi. Komunikasi yang buruk dapat mengganggu pertukaran informasi
serta menurunkan kepuasan pasien.
Pada
umumnya, anda harus berbicara pelan, jelas, dan keras tanpa berteriak,
menggunakan bahasa dan kalimat yang singkat dan sederhana. Karena pasien lanjut
usia umumnya lebih sedikit bertanya dan menunggu untuk ditanya sesuai
kewenangan dokter, khususnya penting untuk sering merangkum dan memancing
pertanyaan.
c)
Menghindari Ageism
Salah
satu hal terpenting yang harus diingat ketika berkomunikasi dengan pasienadalah
menghindarkanageis m.Ageis
m, suatu istilah yang pertama disampaikan
oleh Robert Butler,
direktur pertama the National Institute on Aging,
adalah systematic stereotyping
dan diskriminasi terhadap seseorang karena mereka berusia lanjut (Butler,
1969). Ageis
m adalah hal yang
lazim pada perawatan kesehatan dan dapat direfleksikan dalam tindakan seperti
meremehkan masalah medis, menggunakan bahasa yang bersifat merendahkan, hanya
memberikan sedikit edukasi tentang regimen preventif, menawarkan sedikit
pengobatan untuk masalah kesehatan mental, menggunakan panggilan yang bernada
menghina, menghabiskan
lebih sedikit masalah psikososial, dan
membuat stereotype orang tua.
Untuk
menghindarkan ageism, mulailah
mengenal pasien sebagai satu pribadi
dengan riwayat dan penyelesaian yang
jelas. Pendekatan ini memungkinkan anda untuk menemui
setiap pasien paska strok kronik sebagai individu yang unik dengan pengalaman
seumur hidup yang berharga bukan orang tua yang tidak produktif dan lemah.
Juga
penting untuk tidak
mengasumsikan bahwa semua pasien paska stroke kronik adalah sama. Bisa saja dijumpai
“orang berjiwa
muda” dengan usia 85 tahun serta “orang berjiwa tua” dengan usia
60 tahun. Setiap pasien
dan setiap masalah harus diperlakukan dengan unik.
d)
Mengenal
Kultur dan Budaya
Mengenal
latar belakang kultur dan budaya pasien untuk kemudian mengaplikasikannya dalam
komunikasi dokter-pasien paska stroke juga merupakan hal penting dalam
mempengaruhi persepsi pasien terhadap baik dan berkualitasnya pelayanan
kesehatan yang diberikan dokter.
g. Komunikasi Verbal dan Nonverbal
1) Komunikasi Verbal
Merupakan
jenis komunikasi yang paling lazim digunakan. Dalam pelayanan dokter di rumah
sakit komunikasi secara verbal sangat banyak dilakukan dalam memberikan
pelayanan. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata
adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan idenya atau
perasaan, membangkitkan respon emosional atau menguraikan objek, observasi dan
ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi dan menguji minat
seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan
tiap individu untuk merespon secara langsung.
Komunikasi
verbal yang efektif dipengaruhi oleh :
a) Kejelasan
Komunikasi
yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang
digunakan makin kecil kemungkinan terjadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai
dengan berbicara secara lambat dan mengucapkan kata dengan jelas. Penggunaan
contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami, demikian juga
mengulang bagian yang penting dari pesan yang disampaikan.
b) Perbendaharaan
Kata
Komunikasi
tidak akan berhasil jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan
istilah-istilah teknis yang digunakan dalam kedokteran. Jika istilah tersebut
digunakan oleh dokter, pasien dapat menjadi bingung dan tidak mampu mengikuti
petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah yang
dimengerti oleh pasien.
c) Arti
denotative dan konotatif
Arti
denotative memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan,
sedangkan arti konotatif merupakan pikiran atau perasaan atau ide yang terdapat
dalam suatu kata. Kata serius
dipahami pasien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi dokter akan
menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan mendekati kematian. Ketika
berkomunikasi dengan pasien dokter harus hati-hati memilih kata-kata sehingga
tidak mudah untuk disalahtafsirkan.
d) Kecepatan
bicara
Kecepatan
dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi verbal.
Selaan (jedah waktu) yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan
lain mungkin akan menimbulkan kesan bahwa dokter sedang menyembunyikan sesuatu
terhadap pasien. Dokter sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga
kata-kata menjadi tidak jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal
tertentu dan member waktu pada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan perlu
digunakan untuk menekankan pada satu hal dan member waktu pada pendengar untuk
mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan untuk
memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya atau menyimak isyarat
nonverbal dari klien yang mungkin menunjukkan ketidakmengertian. Ketika dokter
merasa ragu apakah dia berbicara cepat atau lambat, dokter bisa menyakan kepada
pasien apakah dia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat dan apakah diulang.
2)
Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah pengiriman
pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk
menyampaikan pesan kepada oirang lain. Dokter perlu menyadari pesan verbal dan
nonverbal yang disampaikan pasien mulai dari saat pengkajian sampai evaluasi,
karena isyarat nonverbal menambah arti terhadap pesan verbal. Dokter yang akan
lebih mampu memahami pasien, mendeteksi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan
dokter.
Komunikasi nonverbal mempunyai dampak yang
lebih besar daripada komunikasi verbal.
Komunikasi
nonverbal dapat diamati melalui :
(a) Penampilan
personal
Penampilan
seseorang merupakan salah satu hal utama yang diperhatikan selama komunikasi
interpersonal. Bentuk fisik, cara berpakaian dan berhias menunjukkan
kepribadian, status social, pekerjaan, agama, budaya dan konsep diri. Dokter
yang memperhatikan penampilan dirinya dapat menimbulkan citra diri yang positif
dan sikap profesional yang positif. Penampilan fisik dokter mempengaruhi
persepsi pasien terhadap pelayanan yang diterima, karena tiap pasien mempunyai
pandangan atau citra diri bagaimana seharusnya dokter berpenampilan. Walaupun
penempilan tidak sepenuhnya mencerminkan kemampuan, tetapi penampilan dokter
dapat mempengaruhinya dalam membina hubungan saling percaya dengan pasien.
(b) Intonasi
(nada suara)
Nada suara pembicara mempunyai dampak
yang besar terhadap arti peesan yang dikirimkan, karena emosi seseorang dapat
secara langsung mempengaruhi nada suaranya. Dokter harus menyadari dan
mengontrol emosinya ketika sedang berinteraksi dengan pasien, karena maksud
untuk menyampaikan perhatian yang tulus terhadap klien dapat terhalangi oleh
dana suara dokter yang kurang simpatik.
(c) Ekspresi
wajah
Hasil
penelitian yang dilakukan Ellis, R, Gates, R dan Kenworthy pada tahun 2000
bahwa ada enam keadaan emosi utama yang tampak melalui ekspresi wajah yaitu
terkejut, takut, marah, jijik, bahagia dan sedih. Ekspresi wajah sering digunakan
sebagai dasar penting dalam menentukan respon komunikasi atau penerima pesan.
Orang yang tidak percaya atau orang yang berbohong akan tampak dalam ekspresi
wajahnya. Ekspresi wajah dapat meliputi posisi mulut, alis, muka tatapan mata.
Orang yang mempertahankan kontak mata
selama pembicaraan dipersepsikan sebagai orang yang dapat dipercaya. Dokter
sebaiknya tidak memandang ke bawah ketika sedang berbicara dengan pasien, oleh
karena itu ketika berbicara sebaiknya duduk sehingga dokter tidak tampak
dominan.
(d) Sikap
tubuh dan langkah
Sikap tubuh dan langkah menggambarkan
sikap, emosi, konsep diri, dan keadaan fisik. Dokter dapat mengumpulkan
informasi yang bermanfaat dengan mengamati sikap tubuh dan langkahnya serta
memperoleh umpan balik dari orang lain.
Langkah dapat dipengaruhi oleh factor fisik seperti rasa sakit, obat atau
fraktur.
(e) Jarak
Jarak dalam berkomunikasi sangat penting
diperhatikan oleh dokter karena akan
mempengaruhi kelancaran komunikasi. Jarak yang terlalu jauh menyebabkan dokter
sulit untuk berespons secara tepat karena dokter tidak bisa melakukan active listening. Jarak untuk hubungan intim terapiutik adalah
0-45 cm, sedangkan jarak pribadi adalah 45-120 cm. Berdasarkan pengalaman jarak
yang paling nyaman bagi dokter dan pasien dalam berinteraksi adalah 30-40 cm,
akan tetapi pada pasien-pasien dengan prilaku kekerasan, jarak yang bisa
digunakan antara 100-120 cm.
(f) Sentuhan
Sentuhan
merupakan alat komunikasi yang sangat kuat. Sentuhan juga dapat menimbulkan
reaksi positif atau negative, bergantung pada orang yang terlibat dan lingkungan
di sekililing mereka. Sentuhan penting dilakukan pada saat pasien merasa sangat
sedih. Sentuhan pada situasi ini mempunyai arti empati. Sentuhan juga bisa
berarti “Saya peduli”. (Stuart, G. W, 1998 dalam Suryani: 49).
Akan
tetapi pada pelaksanaannya sangat perlu untuk memahami siapa, kapan dan mengapa
sentuhan dilakukan, karena komunikasi nonverbal mempunyai efek yang berbeda
pada setiap individu.
2.
Pasien Paska Stroke kronik
a.
Pengertian
Secara definisi pasien
paska stroke kronik adalah seseorang
yang mengalami serangan tiba-tiba akibat kelainan pembuluh darah yang mensuplai
darah ke otak. Kejadian ini sering menyebabkan kelainan neurologis seperti:
kelemahan motorik Anggota Gerak Atas (AGA) dan Anggota Gerak Bawah (AGB)
tercatat 88% pasien. Kesulitan menelan (50%) dan berbicara (30%). Mengompol.
Kesulitan untuk mengingat dan berpikir. Bahkan ada yang sampai terjadi
perubahan kepribadian menjadi pemarah, perusak.
Stroke sendiri merupakan suatu kumpulan gejala gangguan otak yang terjadi
akibat gangguan sirkulasi darah di otak. Stroke dapat dibedakan menjadi stroke
berdarah dan tidak berdarah. Penyakit ini merupakan penyebab kematian ketiga di
dunia dan di Indonesia stroke juga merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama. Faktor resiko stroke adalah umur, jenis kelamin, suku bangsa,
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus atau penyakit gula, faktor
keturunan, kegemukan, diet yang salah, hiperkolesterolemia, merokok dan
kurangnya aktivitas fisik.
Word
Healt Organization (WHO)
mendefenisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf
yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain
dari itu.
Stroke termasuk penyakit pembuluh darah otak (serebrovaskular) yang ditandai dengan
kematian jaringan otak (infark serebral)
yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen keotak. Berkurangnya
aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan penyempitan atau
pecahnya pembuluh darah.
Stroke sebenarnya dapat terjadi pada siapa saja dan di
umur berapapun tetapi tiga perempat dari penderita stroke adalah rata-rata
berusia di atas 65 tahun atau lebih. Kenyataan di lapangan saat ini, terjadi
suatu fenomena bahwa stroke terjadi pada rerata umur yang lebih muda yaitu
sekitar umur empat puluhan dan lima puluhan. Data di Amerika mengatakan bahwa
sekitar 10-27% dari 600.000 penderita stroke didiagnosis menderita depresi
berat dalam waktu setahun sejak awal mengalami stroke. Sebagai tambahan 15
sampai 40% mengalami beberapa gejala depresi dalam dua bulan pertama setelah
stroke.
Depresi sendiri
dapat mengenai siapa saja, namun orang dengan penyakit serius seperti stroke
merupakan salah satu faktor risiko yang berpengaruh. Suatu diagnosis dan terapi
depresi yang tepat pada pasien stroke dapat memperbaiki penyakit strokenya
sendiri dengan meningkatkan status medisnya, meningkatkan kualitas hidupnya dan
mengurangi kesakitan dan ketidakberdayaannya. Pengobatan depresi juga dapat
memperpendek proses rehabilitasi yang akhirnya menuju percepatan dari proses
penyembuhan. Proses ini juga akan mengurangi biaya perawatan yang dikeluarkan
dalam pengobatan pasien stroke.
Keparahan dari depresi yang mengikuti stroke ditentukan
juga oleh beberapa faktor antara lain lokasi dari lesi di otak, adanya riwayat
keluarga yang mengalami depresi dan fungsi sosial sebelum terserang stroke.
Pasien yang selamat dari serangan stroke namun menderita depresi terutama
depresi berat biasanya akan lebih sulit diminta kepatuhannya dalam berobat,
pasien juga menjadi lebih mudah marah dan tersinggung serta dapat berubah
kepribadiannya.
Sayangnya terkadang depresi pasca stroke seringkali tidak
terdiagnosis atau dianggap sebagai reaksi yang tidak terelakkan dari serangan
stroke. Seharusnya depresi dilihat sebagai suatu hal yang tidak wajar dan
ditatalaksana secara optimal bersamaan dengan tatalaksana untuk strokenya.
Depresi pada
stroke terjadi karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah pada penderita
stroke terjadi sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak yang menyebabkan
jalur komunikasi ke daerah otak tersebut menjadi terhambat. Kita ketahui bahwa
otak terdiri dari beberapa bagian yang tugasnya bermacam, macam. Yang biasanya
terkena pada pasien stroke adalah bagian otak yang mengatur fungsi perasaan dan
gerakan pasien sehingga yang terlihat pada diri penderita stroke adalah
kesulitan dalam melakukan gerakan akibat lumpuhnya tubuh sebagian dan gangguan
suasana perasaan dan tingkah laku.
Selain dari adanya bagian otak yang mengatur pusat
perasaan yang terkena, depresi pada pasien stroke juga disebabkan karena adanya
ketidakmampuan pasien dalam melakukan sesuatu yang biasanya dikerjakan sebelum
terkena stroke. Hal ini terkadang menyebabkan pasien menjadi merasa dirinya
tidak berguna lagi karena banyaknya keterbatasan yang ada dalam diri pasien
akibat penyakitnya itu.
Stroke dibedakan atas dua yaitu
stroke iskemik yaitu terdapatnya sumbatan pada pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti 80% maupun stroke hemorragik atau stroke yang disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah. Sementara yang dimaksud dengan pasien paska stroke kronik
adalah pasien yang telah melewati stroke yang mendapatkan pelayanan kesehatan
baik rawat jalan maupun rawan nginap.
b.
Tanda
dan Gejala-gejala Paska Stroke
Berdasarkan lokasinya di tubuh pasien paska stroke terdapat
gejala-gejala sebagai berikut:
1)
Bagian
sistem saraf pusat akan terjadi kelemahan otot (hemiplegia), kaku, menurunnya fungsi sensorik.
2)
Batang
otak akan terjadi penurunan kemampuan membau, mengecap, mendengar dan melihat
parsial atau keseluruhan refleks menurun, ekspresi wajah terganggu, pernafasan
dan detak jantung terganggu, lidah lemah.
3)
Cerebral cortex : aphasia, apraxia, daya ingat menurun, kebingungan
dan lai-lain.
c.
Faktor
Penyebab Stroke
Faktor
penyebab resiko medis stroke antara lain penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi), kolesterol, pengerasan
pembuluj darah (aterosklerosis),
gangguan jantung, penyakit gula (diabetes
mellitus), ada riwayat stroke dalam keluarga, migrain.
Pemicu stroke pada dasarnya adalah
suasana hati yang tidak nyaman atau suka marah-marah, terlalu banyak minum alkohol,
merokok dan senang mengkomsumsi makanan yang berlemak.
Dengan kondisi pasien seperti diatas
yang mengalami paska stroke kronik maka komunikasi yang baik antara dokter dan
pasien perluh diperhatikan.
B. Model Berpikir
Komunikasi terapiutik dokter pada
pasien dapat dibedakan atas dua yaitu komunikasi verbal atau komunikasi yang
mempergunakan lambang bahasa dalam penyampaian pesan kepada pasien, sedang
komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang mempergunakan lambang bukan bahasa
dapat terwujud gambar, isyarat dan lain-lain. Kedua model komunikasi tersebut
yang digunakan oleh dokter dalam memberikan pelayanan pemeriksaan dan
pengobatan serta evaluasi kepada pasien paska stroke kronik.
Adapun
model berpikir pada penelitian ini
adalah :
Komunikasi
Verbal
Komunikasi Pasien Paska Stroke Kronik
Terapiutik
Komunikas
Nonverval
A.
Pertanyaan
Penelitian
Adapun
pertanyaan dalam penelitian adalalah :
1.
Bagaimana inplementasi komunikasi terapiutik dokter pada pasien paska stroke
kronik di RSUD. Daya Makassar.
2.
Bagaimana persepsi pasien paska stroke kronik tentang komunikasi terapiutik
dokter.
3.
Bagaimana persepsi dokter terhadap
komunikasi terapiutik pada pasien paska stroke kronik.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode
Penelitian
Untuk
mendapatkan pemahaman tentang implementasi komunikasi terapiutik dokter pada
pasien paska stroke kronik dengan unsur-unsur pokok yang harus ditemukan sesuai
dengan rumusan masalah, tujuan serta manfaat penelitian maka akan digunakan metode observasi dan wawancara dengan paradigma penelitian
kualitatif. Yang mana akan menggunakan pengamatan, interaksi dengan pasien dan
dokter, berusaha memahami tafsiran mereka melalui wawancara tentang komunikasi
terapiutik dokter pada pasien paska stroke kronik.
B. Unit Analisis
Yang menjadi objek
dalam penelitian ini adalah pasien RSUD. Daya Makassar dengan kondisi
paska stroke kronik serta dokter yang merawatnya. Objek penelitian tersebut tidak dibatasi oleh
umur dan jenis kelamin. Namun demikian tetap mengikuti kriteria penerimaan
sampel yakni pasien paska stroke kronik yang dapat melakukan komunikasi secara
verbal. Hal ini bertujuan agar wawancara yang dilakukan dapat memperoleh hasil
yang seperti diinginkan dalam penelitian ini.
C. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dari data primer yakni data
diperoleh dari hasil observasi dan wawancara langsung dengan pasien paska
stroke kronik dan dokter yang menangani pasien tersebut.
Sumber data dan instrumen
dalam penelitian yakni mengutamakan perpektif emic atau mementingkan
pandangan informan melalui wawancara tentang
persepsi dokter dan pasien paska stroke kronik mengenai implementasi
komunikasi terapiutik selama penelitian.
D. Prosedur Pengolahan dan Analisa Data
Proses analisis data yang
digunanakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti
konsep diberikan Miles and Huberman yakni dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian
sehingga sampai tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
J. Guwandi, (2007), Dokter, Pasien dan Hukum, Jakarta, Balai Penerbit FKUI.
M. Jusuf Hanafiah and Amri Amir, (2009),
Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 4, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Riduwan, (2010), Metode dan Teknik Menyusun Proposal
Penelitian, Bandung , Penerbit Alfabeta.
…………, (2009), Pedoman Penulisan Tesis, STIA-LAN Makassar.
Suryani, (2006), Komunikasi Terapiutik Teori dan Praktek,
Penerbit Buku Jakarta, Kedokteran
EGC.
Susan J. Garrison, (20010,
Dasar-dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik, Alih Bahasa Anton. C Widjaja,
Jakarta, Penerbit Hipokrates.
Yanti Setianti, (2007), Komunikasi Terapiutik Antara Perawat dan
Pasien, Jatinagor, Universitas Pajajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar