Dosen Politeknik Kesehatan Makassar,
Jurusan Fisioterapi
Fisioterapis RSUD. DR. Wahidin
Sudirohusodo Makassar
Alamat Korenspondensi
Muhammad
Akraf
Kompleks Fisioterapi C/2
Jln. Paccerakkan (KM-14) Daya
Makassar, 90241
Telp. 081 355 332 780
PENDAHULUAN
Gangguan aktivitas fungsional pada pinggang biasanya
diawali dengan munculnya rasa nyeri yang timbul saat melakukan pergerakan, baik
gerakan secara aktif maupun secara pasif. Gangguan ini sering dijumpai di rumah
sakit ataupun di klinik-klinik fisioterapi yang umumnya keluhan tersebut berupa
kesulitan untuk melakukan aktifitas sehari-hari.
Nyeri pinggang bawah (low back pain) merupakan
keluhan umum yang pernah dialami oleh hampir semua orang, namun jarang
berakibat fatal.
Meskipun
demikian, sejak seseorang belajar berdiri dan berjalan, sejak itu pulalah ia
dihadapkan pada resiko nyeri pinggang bawah.
Keluhan ini merupakan salah satu
penyebab utama mangkir kerja dan meningkatnya biaya pengobatan.
Nyeri pinggang bawah adalah suatu gejata
berupa rasa nyeri di daerah lumbosakral dan sakroiliaka yang dapat ditimbulkan
oleh berbagai sebab, kadang-kadang disertai dengan penjalaran nyeri ke arah
tungkai dan kaki.
Nyeri pinggang bawah lebih sering terjadi
pada pekerja yang sehari-harinya melakukan kegiatan mengangkat, memindahkan,
mendorong atau menarik benda berat. Berputarnya tulang belakang di saat tubuh
sedang mem-bungkuk merupakan faktor penyebab yang penting. 22% keluhan terjadi
ketika mengangkat beban, 19% ketika berolahraga, dan sekitar 25% terjadi
berangsur-angsur tanpa diketahui penyebabnya.
Karena sebagian besar
tidak disebabkan oleh gangguan yang serius dan umumnya sembuh sendiri,
pemeriksaan menjadi kurang teliti dan penyebab yang lebih serius tidak dapat
diketahui dengan cepat. Seringkali diagnosis pasti tidak dapat ditegakkan
karena kurangnya pendekatan diagnostik mengingat penyebabnya yang sangat
beragam dan melibatkan banyak disiplin ilmu.
Nyeri pinggang bawah
yang disebabkan karena gangguan pada jaringan lunak seperti otot, fascia dan
jaringan lunak lainnya akan mempengaruhi jaringan lunak yang sesegmen
dengannya. Sehingga akan menampakkan gejala seperti nyeri, oedema fascia,
adanya nodulus, perubahan warna kulit serta perubahan suhu dari jaringan organ
tubuh yang terganggu tersebut melalui system reflekstoar.
Diantara sekian gejala
yang ada di atas maka gejala berupa nyeri yang paling sering ditemukan dalam
praktek klinik, misalnya nyeri pada otot dan fascia yang dikatagorikan sebagai
gejala, sebagaimana yang dikemukakan oleh Melzack
dan Wall bahwa myofascial
trigger point merupakan kunci dasar pada semua jenis nyeri kronik dan
merupakan faktor yang paling utama dalam pemeriksaan.
Hubungan yang jelas antara aktivitas
myofascial trigger point dengan
berbagai masalah nyeri dan kelainan sistem saraf sympatis. Dimana trigger point pada umumnya terletak pada
otot yang mengalami tekanan atau stres dalam berbagai varietas, sering kali
sebagai akibat adanya postural imbalance,
akibat trauma, adanya reflekstoar yang
berasal dari gangguan alat viscera segmen paraspinal adanya penggunaan otot yang berlebihan serta stres
jaringan lunak.
Berdasarkan pengalaman di klinik
dilaporkan bahwa sejumlah penderita yang mengalami nyeri akibat myofascial trigger point mengalami
penurunan nyeri dengan pemberian arus interferensi dengan teknik terapi pada
area trigger point serta penerapan neuromuscular teknik (Johan Aras, 1997).
Berdasarkan latar belakang di atas
maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Arus Interferensi Terhadap
Penurunan Nyeri Pinggang Bawah Akibat Myofascial Trigger Point”.
LOKASI,
POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di RSUP.
Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Alasan pemilihan lokasi adalah dari hasil
observasi ditemukan banyak kondisi nyeri pinggang bawah akibat myofascial
trigger point serta modalitas arus interferensi yang memadai.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik
Fisioterapi RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, dengan populasi adalah
semua pasien nyeri pinggang bawah. Berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan
oleh peneliti, maka diperoleh jumlah responden sebanyak 20 orang.
Semua
responden diberikan perlakuan yang sama yaitu pemberian Arus Interferensi
dengan desain dosis yang sama setiap responden. Sedangkan alat ukur yang
digunakan adalah Visual Analogue Scale (VAS).
Responden
yang diperoleh selama penelitian berlangsung memiliki distribusi usia 25 – 71
tahun serta jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Tabel 1.
Distribusi
Responden Berdasarkan Usia
Kelompok Usia
|
f
|
%
|
25
– 40 tahun
41
– 56 tahun
>
57 tahun
|
4
8
8
|
20
40
40
|
J u m l a h
|
20
|
100
|
Tabel
diatas menunjukkan bahwa responden yang berusia 41 – 56 tahun dan >
57 tahun lebih besar yaitu 8 orang (40%) daripada responden yang berusia 25 –
40 tahun yaitu 4 orang (20%).
Tabel 2.
Distribusi Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
|
f
|
%
|
Laki-Laki
Perempuan
|
8
12
|
40
60
|
J u m l a h
|
20
|
100
|
Tabel
diatas menunjukkan bahwa lebih banyak responden perempuan yaitu 12 orang (60%)
daripada responden laki-laki yaitu 8 orang (40%).
1. Deskripsi
Variabel
Data
penelitian ini adalah nilai VAS pre test dan post test dalam satu kelompok
sampel. Data tersebut akan dideskripsikan pada tabel dibawah ini.
Tabel 3.
Distribusi Nilai
Rerata dan Standar Deviasi
Pada pre test
dan post test nilai VAS
Kondisi
|
Nilai Rerata
|
Standar
Deviasi
|
N
|
Pre test
|
7,330
|
0,893
|
10
|
Post test
|
3,970
|
1,246
|
|
Selisih VAS
|
3,360
|
1,583
|
Tabel
diatas menunjukkan nilai rerata dan standar deviasi pre test dan post test
terhadap nilai VAS. Berdasarkan tabel diatas menunjukkan adanya penurunan nilai
rerata dari pre test (7,330) ke post test (3,970) dengan nilai rerata selisih
VAS yaitu 3,360. Hal ini berarti bahwa pemberian Arus Interferensi dapat
menghasilkan penurunan nyeri pada penderita NPB akibat myofascial trigger
point, dengan rata-rata penurunan sebesar 3,360.
2. Analisis
Variabel
Data
penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan Uji Wilcoxon. Uji Wilcoxon
digunakan untuk menguji data pre test dan post test dalam satu kelompok sampel.
Adapun hasil Uji Wilcoxon dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.
Hasil Uji
Wilcoxon
Kondisi
|
N
|
Mean
|
SD
|
Ranks
|
Z
|
P
|
||
- Ranks
|
+ Ranks
|
Ties
|
||||||
Pre
test
|
20
|
7,330
|
0,893
|
20
|
0
|
0
|
-3,922
|
0,000
|
Post
test
|
20
|
3,970
|
1,246
|
Tabel diatas
menunjukkan hasil Uji Wilcoxon yaitu nilai Z dan nilai Ranks. Dilihat dari
nilai Ranks terdapat angka 20 pada negatif ranks yang berarti semua responden
mengalami penurunan nyeri setelah diberikan perlakuan. Kemudian dilihat dari
nilai Z sebesar 3,922 dengan nilai p = 0,000 < 0,05 berarti bahwa ada
perbedaan yang bermakna setelah diberikan perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian Arus Interferensi dapat menghasilkan pengaruh yang bermakna terhadap
penurunan nyeri pada penderita NPB akibat myofascial trigger point.
PEMBAHASAN
Secara fisiologis, otot mengalami perubahan
anatomi dan fungsional sejalan dengan bertambahnya usia. Sifat fisiologis otot
seperti ekstensibilitas dan elastisitas otot akan menurun sejalan dengan
bertambahnya usia. Pada kelompok usia tersebut, telah terjadi proses degenerasi
yang alamiah pada otot. Menurut Carolyn Kisner (1999), kelompok usia 30 – 45
tahun paling mudah terkena injury muskuloskeletal karena terjadi disproporsi
antara stress mekanikal yang tinggi dan kemampuan jaringan tubuh yang menurun
seperti otot, ligamen, tendon dan diskus. Sedangkan menurut John
E. Murtagh (1997), nyeri pinggang bawah lebih banyak menyerang pada usia
pertengahan. Menurut Syaiful Saamin (2005), nyeri pinggang bawah mencapai
puncaknya pada usia 40 tahun bagi pria dan 10 tahun kemudian bagi wanita. Nyeri
pinggang bawah yang bersifat kronik dapat menimbulkan myofascial trigger point
pada otot paravertebral lumbal. Hal ini disebabkan oleh spasme otot yang
bersifat kronik sehingga timbul nodul didalam serabut otot. Keadaan ini memudahkan terjadinya myofascial
trigger point.
Menurut Grandjean (1973), aktivitas rumah
tangga seringkali melibatkan spine atau sikap tubuh sehingga atas dasar
tersebut maka kebanyakan ibu rumah tangga atau pembantu rumah tangga sering
mengalami nyeri punggung bawah. Sedangkan menurut Biering-Sorenson (1984) dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa faktor kelelahan yang berlebihan merupakan
penyebab nyeri punggung bawah pada wanita khususnya ibu rumah tangga. Egan (1975)
juga menjelaskan bahwa wanita tidak kuat secara fisik dibandingkan dengan
laki-laki sehingga mereka tidak dapat mengangkat beban yang sama dengan
kekuatan laki-laki, tidak dapat menjangkau benda yang jauh atau tidak dapat
berdiri lama. Namun, mereka (wanita) sering melakukan kerja dalam
kondisi-kondisi tersebut sehingga kecenderungan terjadi injury akibat kerja
daripada laki-laki. Disamping itu, wanita sering terlibat dalam aktivitas
pekerjaan yang berulang-ulang seperti ibu rumah tangga sehingga resiko besar
terjadi injury muskuloskeletal pada otot-otot yang sering mempertahankan postur
tubuh seperti otot paravertebral lumbal dan thoracal.
Jika stress kronik terjadi pada otot dan secara berulang-ulang maka dapat
memicu terjadinya myofascial trigger point pada daerah pinggang.
Dari
hasil penelitian diperoleh bahwa lebih banyak perempuan yang mengalami NPB
akibat myofascial trigger point daripada laki-laki. Myofascial trigger point dapat disebabkan oleh
adanya trauma akut atau repetitif mikrotrauma. Repetitif mikrotrauma lebih
sering menjadi faktor penyebab dari myofascial trigger point. Repetitif
mikrotrauma dapat berasal dari kebiasan postur yang jelek, lama bekerja dalam
posisi statik, posisi mengangkat atau memindahkan objek yang salah, atau injury
kecil yang berulang-ulang. Pada umumnya aktivitas pekerjaan atau rekreasi yang menghasilkan
repetitif stress (stress berulang) pada suatu otot atau group otot tertentu
dapat menyebabkan stress kronik pada serabut otot, sehingga menyebabkan
terjadinya trigger point.
Berdasarkan
hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa rata-rata nilai VAS yang dicapai
sebelum intervensi adalah 7,330. Hal ini berarti bahwa intensitas nyeri yang
dirasakan tergolong kedalam nyeri berat. Myofascial trigger point adalah titik-titik yang hiper-iritasi,
memiliki ciri khas tersendiri, terasa bunyi bila ditekan, yang terletak pada taut band otot skeletal. Titik tersebut
sangat nyeri bila ditekan dan dapat menghasilkan referred pain, nyeri tekan menjalar, disfungsi motorik, dan fenomena
autonom.
Myofascial trigger point menghasilkan nodul
atau taut band didalam serabut otot (David J. Alvarez,
2006). Adanya taut band didalam serabut otot akan
mempengaruhi elastisitas jaringan otot. Pada saat otot berkontraksi, taut band
ini akan menghambat sarkomer sebagai unit kontraktil dan elastis otot untuk
berkontraksi dan relaksasi. Akibatnya, terjadi hambatan aliran darah pada area
taut band tersebut sehingga menghasilkan akumulasi sisa-sisa metabolisme pada
otot. Akumulasi sisa-sisa metabolisme merupakan iritan yang mengiritasi serabut
saraf bermyelin tipis/tidak bermylein sehingga timbul nyeri pada otot.
Disamping itu, hambatan yang dihasilkan oleh taut band tersebut terhadap
sarkomer atau myofibril saat berkontraksi akan menimbulkan nyeri hebat pada
otot, apalagi jika dilakukan penekanan pada area taut band tersebut.
Dari
hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata nilai VAS yang dicapai setelah
intervensi adalah 3,970 sehingga menunjukkan adanya penurunan nyeri sebesar
3,360. Arus Interferensi adalah arus frekuensi menengah yang tidak menimbulkan
reaksi elektrokimiawi pada jaringan kulit, sehingga arus Interferensi terasa
sedatif di kulit. Menurut Sri Mardiman (2001), modulasi nyeri dapat diperoleh
melalui beberapa mekanisme yaitu adaptasi atau blokade nosiseptor, penurunan
daya hantar atau konduktivitas serabut afferent yang bermyelin tipis atau tidak
bermyelin, mekanisme gate control, dan sistem endogenous opiate. Arus
Interferensi dapat menurunkan nyeri melalui mekanisme gate control. Menurut
Gate Control Theory, impuls serabut-serabut saraf berdiameter kecil dengan
nilai ambang rangsang tinggi bersifat membuka “pintu gerbang” impuls nyeri di
lamina gelatinosa cornu dorsalis medula spinalis sehingga berperan sebagai
fasilitator pengiriman impuls ke tingkat yang lebih tinggi pada SSP. Kemudian,
fungsi inhibitor yang bekerja menutup “pintu gerbang” dilakukan oleh
impuls-impuls yang dibawa oleh serabut-serabut saraf berdiameter besar
(mekanoreseptor) dan mempunyai nilai ambang rangsang rendah (Nugroho DS, 2001).
Arus Interferensi dapat merangsang dan mengaktivasi serabut saraf afferent
berdiameter besar atau bermyelin tebal sehingga aktivitas serabut saraf
tersebut dapat memblokade impuls nyeri yang dibawa oleh serabut saraf afferent
berdiameter kecil dengan menutup pintu gerbang di cornu dorsalis medulla
spinalis.
Pada
kondisi trigger point, aplikasi yang cocok diberikan adalah aplikasi titik
nyeri dengan 2-pad dimana pada area titik nyeri digunakan elektroda yang kecil
karena memiliki kepadatan arus yang tinggi. Dengan aplikasi ini titik nyeri
pada area trigger point akan menurun aktualitasnya melalu rangsangan pada
serabut saraf afferent bermyelin tebal yang memiliki efek inhibisi atau
blocking terhadap aktivitas serabut saraf bermyelin tipis, sehingga
konsekuensinya terjadi penurunan persepsi nyeri atau sama sekali tidak
dirasakan nyeri (hilang rasa nyeri)
Hal
ini juga ditunjukkan pada hasil penelitian yang terlihat di tabel 4, yaitu
pemberian Arus Interferensi dapat menghasilkan pengaruh yang bermakna terhadap
penurunan nyeri pada penderita NPB akibat myofascial trigger point. Hasil
penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Wahyuni (2006) yang menunjukkan
adanya pengaruh yang bermakna pemberian Arus Interferensi terhadap penurunan
nyeri pada nyeri tengkuk akibat myofascial trigger point, dengan rata-rata
penurunan sebesar 67,12.
DAFTAR
PUSTAKA
Arisandy
Achmad, 2002, Studi Tentang Friction pada Penderita Nyeri Akibat Myofascial
Trigger Point di Klinik Medisakti, karya Tulis Ilmiah, Akademi Fisioterapi,
Makassar.
Davis
J. Alvares. Pamela G. Rockwell, 2006, Trigger Point : Diagnosis and Management,
Journal Of The American Of Family Physician, Volume. 64, No 4, (www.aafp/afp), diakses 19
Januari 2008.
Djohan
Aras, 1993, Sumber Fisis, Akademi Fisioterapi, Makassar.
Djohan
Aras, 1997, Kumpulan Makalah Fisioterapi, Akademi Fisioterapi, Ujungpandang.
Heru
Purbo Kuntoro, 2008, Patofisiologi Nyeri dari Aspek fisioterapi, Ikatan
Fisioterapi Indonesia Cabang Surabaya, (www.fisiosby.com) diakses 11
Januari 2008.
Leon
Chaitow, 1996, Positional Release Technique, Churchill Livingstone, New York,
USA.
Satyanegara,
1978, Teori dan Terapi Nyeri, Pantja Simpati, Jakarta.
Slamet
Parjoto, 2006, Pelatihan Pelaksanaan Fisioterapi komprehensif pada Nyeri,
UNDIP, Semarang.
Sugiyono,
2001, Statistik Nonparametrik Untuk Penelitian, Penerbit Alfabeta, bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar